catatan yang perlu dipikirkan bersama
Jumat, 21 Maret 2014
Jumat, 31 Januari 2014
surat terbuka untuk Umi Waheeda, Ponpes Nurul Iman, Parung Bogor
Surat Terbuka untuk Umi
Waheeda
Assalamualaikum,
Semoga umi dalam keadaan sehat lahir batin - sehat
secara fisik, mental, intelektual, dan spiritual – amin.
Ketika abah Habib
Saggaf meninggal, saya termasuk orang yang merasa kehilangan. Saya pun
sempat pesimis dengan kelangsungan Pondok
Pesantren Al ashriyah Nurul Iman yang beliau bangun. Timbul pertanyaan dalam diri saya, apakah
pelanjut estafet kepemimpinan beliau mampu melakukan hal yang sama. Tetap memberikan
pendidikan secara bermutu , gratis, dengan konsep kasih sayang.
Namun, sebelum pertanyaan saya tersebut terjawab. Umi Waheeda dalam wawancaranya dengan majalah Nurul Iman mengatakan pendidikan di Pondok Pesantren Al ashriyyah Nurul Iman tetap gratis. Bahkan
Umi Waheeda sampai berani menyatakan GRATIS SAMPAI KIAMAT (pernyataan Umi Waheeda di majalah Nurul Iman volume
8 dapat dibaca di sini). Saya agak lega mendengar pernyataan tersebut. Sebab
salah seorang keponakan ada yang dititipkan di sana.
Barangkali Umi
Waheeda berani menyatakan demikian salah satu faktornya karena yayasan Budha Tzu Chi bersedia menjadi
salah satu penyandang dana setelah konsep yang dilakukan oleh almarhum dalam
pendidikan adalah konsep kasih sayang. Yayasan
Budha Tzu Chi bukan hanya ikut membantu membangun pesantren Al Ashriyah Nurul Iman. Melainkan pula sejak Mei 2004,
Yayasan ini bersedia memberi bantuan 60 ton beras tiap bulan.
Yayasan
Budha Tzu Chi bersedia menjadi salah
satu donatur di pondok tersebut. Karena Habib Saggaf dalam menerapkan pndidikan adalah menerapkan kasih sayang.
Ustad dilarang memberi hukuman fisik, jangankan memukul, menjewer telinga pun
tidak boleh. Ajaran cinta kasih seperti itulah yang sesuai dengan visi misi Yayasan Budha Tzu Chi.
Sayangnya, setelah keponakan saya belajar lebih dari empat
tahun di sana dan abah Saggaf wafat. Kondisi Pesantren menjadi berubah total. Kacau. Semrawut. Konon, karena ada
sosok yang bernama Krisna (entah siapa sebenarnya ‘oknum’ ini). Yang pasti,
keadaan kacau itu setelah saya membaca majalah Al Kisah yang memuat kisah penderitaan Nisa yang belum apa-apa
harus membayar ganti rugi delapan ratus ribu rupiah, hanya karena yang
bersangkutan sempat singgah di sana dalam beberapa hari.
Awalnya saya tidak begitu yakin dengan berita
tersebut. Sebab sampai dengan berita itu saya baca kondisi keponakan saya dan
beberapa temannya aman-aman saja. Tak ada masalah. Lalu munculah berita tentang
orang tua yang bersedia menjual ginjal-nya demi mendapatkan ijazah dari sana. Kendati pihak Pondok Pesantren tetap berkelit dengan
berbagai alasan, tujuannya untuk pembenaran diri. Bahwa santri tersebut tidak mengikuti aturan yang ditentukan.
Di sini, saya mulai ragu dengan institusi ini. Ya,
setelah Habib Saggaf meninggal kok
situasinya jadi kacau. Apalagi setelah
saya menonton di you tube bagaimana Habib – anak Umi Waheeda – menampar muka salah satu dosen di sana saat di depan
seluruh santri. Bahkan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak patut. Naudzubillah min dzalik. Padahal Rasulullah paling melaknat orang yang
melakukan pemukulan terhadap kepala. Apakah seorang pimpinan pondok pesantren
tak tahu hal ini. Apakah pantas seorang habib mengeluarkan kata-kata kasar,
bahkan bersifat memaki – ingat firman
Allah dalam surat Al Humazah. Lalu ia pun mengungkit pemberiannya kepada
para santri. Bukankah salah satu faktor yang menyebabkan Pondok Pesantren ini karena adanya penyandang dana alias donatur.
Jadi ironis sekali kalau sampai sang habib mengungkit-ungkit pemberiannya
kepada santri. Sebagai salah seorang wali santri di sana, hati saya menangis. Kok
tega-teganya sampai ngomong seperti itu. Ingatlah! Faman yakmal mitsqola dzarratin khoiroh yarroh. Wa man yakmal mitsqola
dzarratin syarroy yaroh.
Kini, yang sebetulnya tidak saya tahu secara langsung
akhirnya terjadi juga pada keponakan saya. Ia tanpa alasan yang jelas dipecat
dari pondok pesantren. Alasannya terlalu mengada-ada. Merokoklah. Sering tidak
disiplinlah, dan sebagainya. Ia tak mungkin bisa melanjutkan sekolah, tapi juga
ijazahnya tidak bisa diambil. Orangtuanya sudah mencoba menghubungi Umi tapi tidak pernah mendapat ijin
untuk bertemu.
Akhirnya keponakan saya terkatung-katung. Kuliah tidak
bisa. Mengambil ijazah tidak boleh
(barangkali harus membayar?). tetapi, saya tidak tahu persis sebab yang
mestinya punya wewenang memberi penjelasan adalah Umi Waheeda. Lalu kenapa untuk ketemu juga tidak bisa?
Sebetulnya bukan hanya keponakan saya saja yang
terpaksa kehilangan masa depan karena tak punya ijazah. Tetapi ribuan santri
yang kini telah dikeluarkan – dengan berbagai alasan. Nah, kalau demikian sama
artinya menghancurkan masa depan generasi umat Islam yang sempat nyantri di
tempat yang ‘gratis’ ini. Mereka
terpaksa harus membuang waktu bertahun-tahun di pondok pesantren tanpa
mendapatkan hasil apa pun. Lantaran ijazah
ditahan. Astaghfirullah. Keponakan saya pun (juga teman-temannya) kini
tak jelas nasibnya. Apakah mereka harus sekolah lagi dari smp di tempat lain.
Sementara usianya, sudah bukan usia smp. Pun sebetulnya mereka sudah berhak
mendapt ijazah untuk sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan tingkat
atas. Andaikata tahu akan begini akhirnya, tentu saja, tak ada yang berpikir ke
sana. Sebab bertahun-tahun sekolah tetapi tidak mendapatkan haknya. Sebab tidak
semua orangtua bersedia mengganti ginjalnya dengan selembar ijazah.
Melalui surat terbuka ini, saya ingin melakukan tawasaubil haq – sekedar mengingatkan -
kepada umi Waheeda. Bahwa Umi telah berjanji akan tetap
menggratiskan santri hingga kiamat. Tetapi nyatanya justru membuat nasib santri
telah mengalami kiamat hanya karena berharap bisa sekolah gratis. Menjadi tanya
saya adalah apakah Umi Waheeda tidak
yakin kalau almarhum akan menangis di alam
barzah bila melihat (ribuan) santri
dibikin kiamat oleh Pondok Pesantren Nurul Iman? Lantaran
tidak mendapatkan haknya.
Saya menulis surat terbuka ini karena tidak yakin bila
saya datang ke Pondok Pesantren Al Ashriyiah akan bisa bertemu dengan Umi Waheeda. Seperti yang dialami Nisa,
yang hanya beberapa hari singgah di Ponpes Nurul Iman – yang akhirnya tetap
harus membayar – yang tak pernah ditemui oleh Umi. Melainkan oleh ustadzah dan ustad di sana. Di sini saya tidak ingin
berpanjang-panjang kalam. Karena kalau saya bicara tentang hal-hal yang tak
patut dilakukan dan yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang memeluk Islam
kepada Umi. Sama artinya saya
mengajari ikan berenang.
Saya berdoa semoga santri yang dibikin kiamat
nasibnya (baca: dipecat dan diberhentikan) oleh Ponpes Nurul Iman diberi ketabahan dalam menjalani hidup yang tanpa bekal
ijazah. Dan semoga pula anak Umi Waheeda
diberi kesehatan – sehat fisik, sehat
psikis, sehat iman, sehat mental, sehat spiritual, dan sehat moral – hingga
tidak akan melakukan penamparan lagi kepada orang yang telah dianggapnya makan
dari hasil keringat anak Umi. Hingga berani melontarkan kata-kata yang
menyakitkan dan melukai orangtua (atau pun siapa pun yang mendengarnya) dari
seorang habib (?).
Salam,
Agus diffan
Langganan:
Komentar (Atom)
