Jumat, 31 Januari 2014

surat terbuka untuk Umi Waheeda, Ponpes Nurul Iman, Parung Bogor



Surat Terbuka untuk Umi Waheeda
Assalamualaikum,
Semoga umi dalam keadaan sehat lahir batin - sehat secara fisik, mental, intelektual, dan spiritual – amin.
Ketika abah Habib Saggaf meninggal, saya termasuk orang yang merasa kehilangan. Saya pun sempat pesimis dengan kelangsungan Pondok Pesantren Al ashriyah Nurul Iman yang beliau bangun.  Timbul pertanyaan dalam diri saya, apakah pelanjut estafet kepemimpinan beliau mampu melakukan hal yang sama. Tetap memberikan pendidikan secara bermutu , gratis, dengan konsep kasih sayang.
Namun, sebelum pertanyaan saya tersebut terjawab. Umi Waheeda dalam wawancaranya  dengan majalah Nurul Iman mengatakan pendidikan di Pondok Pesantren Al ashriyyah Nurul Iman tetap gratis. Bahkan Umi Waheeda sampai berani menyatakan GRATIS SAMPAI KIAMAT (pernyataan Umi Waheeda di majalah Nurul Iman volume 8 dapat dibaca di sini). Saya agak lega mendengar pernyataan tersebut. Sebab salah seorang keponakan ada yang dititipkan di sana.
Barangkali Umi Waheeda berani menyatakan demikian salah satu faktornya karena yayasan Budha Tzu Chi bersedia menjadi salah satu penyandang dana setelah konsep yang dilakukan oleh almarhum dalam pendidikan adalah konsep kasih sayang.    Yayasan Budha Tzu Chi bukan hanya ikut membantu membangun pesantren Al Ashriyah Nurul Iman. Melainkan pula sejak Mei 2004, Yayasan ini bersedia memberi bantuan 60 ton beras tiap bulan.
Yayasan Budha Tzu Chi bersedia menjadi salah satu donatur di pondok tersebut. Karena Habib Saggaf dalam menerapkan pndidikan adalah menerapkan kasih sayang. Ustad dilarang memberi hukuman fisik, jangankan memukul, menjewer telinga pun tidak boleh. Ajaran cinta kasih seperti itulah yang sesuai dengan visi misi Yayasan Budha Tzu Chi.
Sayangnya, setelah keponakan saya belajar lebih dari empat tahun di sana dan abah Saggaf wafat. Kondisi Pesantren menjadi berubah total. Kacau. Semrawut. Konon, karena ada sosok yang bernama Krisna (entah siapa sebenarnya ‘oknum’ ini). Yang pasti, keadaan kacau itu setelah saya membaca majalah Al Kisah yang memuat kisah penderitaan Nisa yang belum apa-apa harus membayar ganti rugi delapan ratus ribu rupiah, hanya karena yang bersangkutan sempat singgah di sana dalam beberapa hari.
Awalnya saya tidak begitu yakin dengan berita tersebut. Sebab sampai dengan berita itu saya baca kondisi keponakan saya dan beberapa temannya aman-aman saja. Tak ada masalah. Lalu munculah berita tentang orang tua yang bersedia menjual ginjal-nya demi mendapatkan ijazah dari sana. Kendati pihak Pondok Pesantren tetap berkelit dengan berbagai alasan, tujuannya untuk pembenaran diri. Bahwa santri tersebut tidak mengikuti aturan yang ditentukan.
Di sini, saya mulai ragu dengan institusi ini. Ya, setelah Habib Saggaf meninggal kok situasinya jadi kacau.  Apalagi setelah saya menonton di you tube bagaimana Habib – anak Umi Waheeda – menampar muka salah satu dosen di sana saat di depan seluruh santri. Bahkan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak patut. Naudzubillah min dzalik. Padahal Rasulullah paling melaknat orang yang melakukan pemukulan terhadap kepala. Apakah seorang pimpinan pondok pesantren tak tahu hal ini. Apakah pantas seorang habib mengeluarkan kata-kata kasar, bahkan bersifat memaki – ingat firman Allah dalam surat Al Humazah. Lalu ia pun mengungkit pemberiannya kepada para santri. Bukankah salah satu faktor yang menyebabkan Pondok Pesantren ini karena adanya penyandang dana alias donatur. Jadi ironis sekali kalau sampai sang habib mengungkit-ungkit pemberiannya kepada santri. Sebagai salah seorang wali santri di sana, hati saya menangis. Kok tega-teganya sampai ngomong seperti itu. Ingatlah! Faman yakmal mitsqola dzarratin khoiroh yarroh. Wa man yakmal mitsqola dzarratin syarroy yaroh.
Kini, yang sebetulnya tidak saya tahu secara langsung akhirnya terjadi juga pada keponakan saya. Ia tanpa alasan yang jelas dipecat dari pondok pesantren. Alasannya terlalu mengada-ada. Merokoklah. Sering tidak disiplinlah, dan sebagainya. Ia tak mungkin bisa melanjutkan sekolah, tapi juga ijazahnya tidak bisa diambil. Orangtuanya sudah mencoba menghubungi Umi tapi tidak pernah mendapat ijin untuk bertemu.
Akhirnya keponakan saya terkatung-katung. Kuliah tidak bisa. Mengambil ijazah tidak boleh (barangkali harus membayar?). tetapi, saya tidak tahu persis sebab yang mestinya punya wewenang memberi penjelasan adalah Umi Waheeda. Lalu kenapa untuk ketemu juga tidak bisa?
Sebetulnya bukan hanya keponakan saya saja yang terpaksa kehilangan masa depan karena tak punya ijazah. Tetapi ribuan santri yang kini telah dikeluarkan – dengan berbagai alasan. Nah, kalau demikian sama artinya menghancurkan masa depan generasi umat Islam yang sempat nyantri di tempat yang ‘gratis’ ini. Mereka terpaksa harus membuang waktu bertahun-tahun di pondok pesantren tanpa mendapatkan hasil apa pun. Lantaran ijazah ditahan. Astaghfirullah. Keponakan saya pun (juga teman-temannya) kini tak jelas nasibnya. Apakah mereka harus sekolah lagi dari smp di tempat lain. Sementara usianya, sudah bukan usia smp. Pun sebetulnya mereka sudah berhak mendapt ijazah untuk sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Andaikata tahu akan begini akhirnya, tentu saja, tak ada yang berpikir ke sana. Sebab bertahun-tahun sekolah tetapi tidak mendapatkan haknya. Sebab tidak semua orangtua bersedia mengganti ginjalnya dengan selembar ijazah.
Melalui surat terbuka ini, saya ingin melakukan tawasaubil haq – sekedar mengingatkan - kepada umi Waheeda. Bahwa Umi telah berjanji akan tetap menggratiskan santri hingga kiamat. Tetapi nyatanya justru membuat nasib santri telah mengalami kiamat hanya karena berharap bisa sekolah gratis. Menjadi tanya saya adalah apakah Umi Waheeda tidak yakin kalau almarhum akan menangis di alam barzah bila melihat (ribuan) santri dibikin kiamat oleh Pondok Pesantren Nurul Iman? Lantaran tidak mendapatkan haknya.
Saya menulis surat terbuka ini karena tidak yakin bila saya datang ke Pondok Pesantren Al Ashriyiah akan bisa bertemu dengan Umi Waheeda. Seperti yang dialami Nisa, yang hanya beberapa hari singgah di Ponpes Nurul Iman – yang akhirnya tetap harus membayar – yang tak pernah ditemui oleh Umi. Melainkan oleh ustadzah  dan ustad di sana. Di sini saya tidak ingin berpanjang-panjang kalam. Karena kalau saya bicara tentang hal-hal yang tak patut dilakukan dan yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang memeluk Islam kepada Umi. Sama artinya saya mengajari ikan berenang.
Saya berdoa semoga santri yang dibikin kiamat nasibnya (baca: dipecat dan diberhentikan) oleh Ponpes Nurul Iman diberi ketabahan dalam menjalani hidup yang tanpa bekal ijazah. Dan semoga pula anak Umi Waheeda diberi kesehatan – sehat fisik, sehat psikis, sehat iman, sehat mental, sehat spiritual, dan sehat moral – hingga tidak akan melakukan penamparan lagi kepada orang yang telah dianggapnya makan dari hasil keringat anak Umi. Hingga berani melontarkan kata-kata yang menyakitkan dan melukai orangtua (atau pun siapa pun yang mendengarnya) dari seorang habib (?).

Salam,
Agus diffan